Wali Kota Solo Ingatkan ASN Jaga Integritas Pasca Penahanan Eks Sekretaris DPUPR dalam Kasus Korupsi

Wali Kota Solo Respati Ardi (JatengNOW/Kevin Rama)
SOLO, JATENGNOW.COM – Wali Kota Solo Respati Ardi menegaskan kasus dugaan korupsi proyek normalisasi saluran drainase Stadion Manahan yang menyeret mantan Aparatur Sipil Negara (ASN) Pemkot Solo harus menjadi pelajaran berharga bagi jajaran ASN.
Respati menekankan agar seluruh aparatur negara menjaga integritas dan tidak menyalahgunakan kewenangan dalam mengelola anggaran.
“Kami mengingatkan ASN Solo untuk tidak main-main dengan anggaran negara. Ini menjadi cambuk ASN Solo agar menjaga integritas sebagai abdi negara,” tegas Respati, Selasa (30/9).
Ia memastikan Pemkot Solo mematuhi proses hukum yang sedang berjalan dan menghormati langkah Kejaksaan Negeri (Kejari) Solo dalam menangani perkara tersebut. Menurutnya, kasus ini harus menjadi pengingat agar ASN bekerja bersih tanpa kepentingan pribadi maupun praktik yang berpotensi merugikan negara.
“Kami ikuti proses hukum yang berlaku. Ini jadi pengingat untuk kita semua yang saat ini menjabat untuk berkomitmen membebaskan diri dari kepentingan pribadi dan praktik yang merugikan negara,” ujarnya.
Respati juga menyatakan Pemkot Solo siap membantu Kejari agar kasus ini segera selesai dan tidak terulang di masa mendatang.
“Sekarang sudah sangat terbuka, jangan pernah coba-coba, jangan pernah tergiur karena pasti nantinya akan bermasalah,” tandasnya.
Ia menambahkan, pengawasan internal di lingkungan Pemkot Solo harus diperkuat. Respati mendorong agar seluruh ASN saling mengingatkan dan mengawasi penggunaan anggaran negara.
“Jadi mari kita awasi bersama penggunaan uang negara supaya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat,” katanya.
Diketahui, Kejari Solo telah menahan dua tersangka dalam kasus ini, yaitu AN, mantan Sekretaris Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Solo sekaligus Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), serta HMD, Direktur PT Kenanga Mulia selaku rekanan proyek.
Kajari Solo, Supriyanto, mengungkapkan penyimpangan terjadi karena pekerjaan tidak sesuai kontrak, spesifikasi bahan di bawah standar, dan adanya kekurangan volume. Kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp2,5 miliar dari total anggaran Rp4,5 miliar yang bersumber dari APBD 2019.
“Modus tersangka pelaksanaan pekerjaan bertentangan dengan Perpres Pengadaan Barang dan Jasa, serta tidak sesuai kontrak yang disepakati antara PPK dan penyedia,” jelas Supriyanto. (jn02)