Belasan Ribu Pelanggaran Lalu Lintas Dilakukan Anak Bawah Umur di Jateng, Ini Respon Pemerhati Pendidikan

0
WhatsApp-Image-2024-02-16-at-07.39.02_81a25ed7

Kabid Humas Polda Jateng Kombespol Satake Bayu (JatengNOW/Dok. Polda Jateng)

SEMARANG, JATENGNOW.COM – Polda Jawa Tengah (Jateng) mengungkapkan bahwa terdapat 15.321 anak di bawah umur yang tercatat sebagai pelanggar lalu lintas pada tahun 2023.

Kabidhumas Polda Jateng, Kombes Pol Satake Bayu Setianto, menghimbau para orang tua untuk tidak mudah mengijinkan anak-anak di bawah umur mengendarai motor atau mobil.

“Masih ditemukan anak-anak di bawah umur yang melanggar lalu lintas. Untuk ini, kami berupaya kepada orang tuanya diberikan arahan,” kata Satake, Kamis (7/3/2024).

Satake mengatakan, mengemudi tidak hanya membutuhkan kesiapan fisik dan mental tapi juga skill serta pengetahuan berlalu lintas yang baik.

“Jangan mudah memberikan akses kendaraan kepada anak-anak. Secara legal, seseorang baru bisa mendapatkan SIM di usia 17 tahun dan mempunyai KTP,” tandasnya.

Pemerhati pendidikan Universitas Negeri Semarang (UNNES) Ali Formen, PhD, turut prihatin terhadap fenomena ini.

“Saya melihat faktor di balik semua ini, memang kompleks. Keluarga menjadi salah satunya. Soal keluarga ini, saya melihat, pertama-tama, karena faktor keluarga yang permisif,” kata Ali Formen.

Ali Formen melihat beberapa faktor lain yang menjadi pendorong mengapa anak-anak di bawah umur bebas mengakses penggunaan sepeda motor.

“Yang pertama, kenyataan bahwa banyak di antara kita, orangtua dan orang dewasa diam-diam bangga kalau anak-anak belia kita juga mengendarai alat transportasi bermotor pada usia yang seharusnya belum. Ini menjadi semacam lingkaran setan, anak dan keluarga sama terprovokasi untuk mengendarai alat transportasi kendaraan bermotor,” terangnya.

“Yang kedua, sebagian sekolah tampak juga memandang normal situasi ini. Sangat lazim, saat ini untuk kita melihat anak-anak usia sekolah menengah pertama pergi ke sekolah dengan bermotor. Kita tahu, mereka belum memiliki SIM, dan saya kira sekolah pun tahu. Tetapi kenyataan ini telanjur menjadi normal,” imbuhnya.

Ali Formen melihat penuntasan masalah ini bukan melulu tanggung jawab keluarga, namun ada pihak lain yang perlu dilibatkan, yaitu komunitas.

“Di sini kita butuh bukan saja keluarga sebagai pihak yang paling bertanggung jawab, tetapi pelibatan komunitas. Antar keluarga bertemu, lalu saling menguatkan,” paparnya.

Ali menandaskan, keresahan soal anak-anak bermotor ini adalah keresahan bersama dan bukan keluarga per keluarga. Untuk ini, solusinya pun semestinya solusi kolektif.

Para keluarga perlu bertemu, misalnya di tingkat RT/RW, duduk bersama, untuk membangun kesepahaman bahwa pengendara belia adalah masalah.

“Kita tidak akan dapat memutus urusan pengendara belia ini jika kita, keluarga, dan orangtua tidak menganggapnya sebagai masalah,” kata dosen sekaligus periset ini.

Lebih lanjut, Ali mendorong penuntasan masalah pengendara di bawah umur ini melalui solusi yang komprehensif. Pemerintah diharap segera memberikan solusi transportasi untuk mengakomodir kepentingan anak-anak, berangkat dan pulang sekolah.

“Perlu disadari, fenomena pengendara belia adalah akibat dari tidak adanya opsi transportasi publik-komprehensif yang memadai. Oleh karena itu, ini juga bagian dari solusi jangka panjang,” pungkasnya. (jn02)

Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *