Akademisi Dorong Pemerintah Ubah Skema Subsidi Elpiji 3 Kg Jadi BLT atau Voucher
Akademisi Dorong Pemerintah Ubah Skema Subsidi Elpiji 3 Kg Jadi BLT atau Voucher (JatengNOW | Lensasemarang.com/Dok)
SEMARANG, JATENGNOW.COM – Sejumlah akademisi di Kota Semarang, Jawa Tengah, menilai kebocoran subsidi elpiji 3 kilogram yang mencapai Rp50 triliun per tahun sudah pada tahap darurat. Mereka mendorong pemerintah segera mengubah mekanisme penyaluran subsidi dari bentuk barang menjadi bantuan langsung tunai (BLT) atau voucher agar lebih tepat sasaran.
Dilansir dari Lensasemarang.com jejaring JatengNOW, Pakar Kebijakan Publik Universitas Diponegoro (Undip) Yuwanto mengatakan, kebocoran subsidi gas melon menunjukkan lemahnya sistem tata kelola subsidi yang perlu segera dibenahi. Menurutnya, pemerintah harus disiplin dan tegas dalam pelaksanaan penyaluran subsidi agar tidak terus bocor.
“Ini darurat sekali, ya. Persentase kebocorannya besar dan biayanya sangat tinggi. Masalahnya, disiplin itu tidak lahir begitu saja. Disiplin itu harus diajarkan, dipaksakan, bahkan diberi punishment kalau melanggar,” ujarnya dalam Diskusi Publik bertema “1 Tahun Prabowo-Gibran: Sudah Berdaulatkah Kita dalam Berenergi?” di Semarang, Senin (27/10/2025).
Ia menilai sistem pengawasan subsidi saat ini belum terintegrasi lintas lembaga, sehingga perubahan mekanisme menjadi voucher atau BLT perlu dibarengi dengan penguatan penegakan hukum agar pelaksanaannya efektif.
“Kita perlu perangkat law enforcement yang lebih kuat, terstruktur, dan sistematis untuk memastikan subsidi tepat sasaran,” lanjutnya.
Menurut Yuwanto, rencana pemerintah mengubah subsidi elpiji dari barang menjadi uang merupakan langkah yang tepat, apalagi kebijakan itu akan diterapkan setelah pembenahan Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN).
“Kalau pembenahan datanya dilakukan serius dan akurat, saya kira subsidi dalam bentuk BLT atau voucher bisa efektif,” ujarnya.
Sementara itu, Ekonom Universitas PGRI Semarang Heri Prabowo menyebut perubahan bentuk subsidi penting untuk memperbaiki efektivitas penyaluran energi. Ia menegaskan subsidi seharusnya membantu masyarakat memperoleh energi dengan mudah, namun tidak membebani fiskal negara.
Kendati demikian, ia mengingatkan agar transisi kebijakan dilakukan secara hati-hati. “Proses transisinya harus hati-hati. Jangan sampai justru menimbulkan gejolak baru di masyarakat, terutama bagi rumah tangga berpenghasilan rendah,” ujarnya.
Senada, Pakar Energi Undip Jaka Windarta menilai kebijakan subsidi elpiji yang mencapai Rp80 triliun per tahun tidak lagi sebanding dengan manfaat yang diterima masyarakat miskin. Ia menilai perubahan skema menjadi voucher atau BLT adalah langkah logis agar subsidi lebih terarah.
“Subsidi itu memang membantu masyarakat, tapi di sisi lain juga jadi beban bagi pemerintah. Jadi wajar kalau efektivitasnya perlu dipikirkan ulang,” katanya.
Menurutnya, kebijakan voucher akan memberi kejelasan penggunaan bantuan dan memastikan hanya penerima sah yang mendapat akses LPG subsidi. Ia juga menekankan pentingnya digitalisasi untuk memastikan ketepatan data penerima, seperti melalui penggunaan QR code dan sistem by name by address.
“Sekarang sudah mulai ada sistem pendaftaran dan verifikasi digital. Jadi yang terdaftar bisa membeli, yang tidak ya tidak bisa,” ujarnya.
Diketahui, pemerintah mengalokasikan subsidi elpiji 3 kilogram sebesar Rp87,6 triliun untuk 2025, naik dari pagu anggaran 2024 senilai Rp85,6 triliun. Volume elpiji bersubsidi mencapai 8,17 juta ton, dengan harga asli Rp42.750 per tabung yang disubsidi menjadi Rp12.750 per tabung. (jn02)
