Dialog Publik di Solo Soroti Ancaman Polarisasi di Era Digital

0
IMG-20251209-WA0082

SOLO, JATENGNOW.COM – Fenomena polarisasi yang semakin menguat di era digital menjadi perhatian serius dalam Dialog Publik: Dinamika Politik dan Stabilitas Sosial, Deteksi Dini dan Pencegahan Polarisasi di Era Politik yang Dinamis yang digelar di Solo, Selasa (9/12/2025). Para narasumber menegaskan bahwa arus informasi digital yang tak terkendali berpotensi memicu perpecahan sosial jika tidak diimbangi dengan literasi dan kesadaran kritis masyarakat.

Ketua PWI Solo, Anas Syahirul Alim, menyampaikan bahwa perubahan lanskap media yang kini didominasi platform digital membuat penyebaran informasi menjadi sangat cepat dan sulit disaring. Dominasi pengguna dari Generasi Z yang mencapai 34 persen menjadi faktor utama tingginya dinamika percakapan digital.

“Saat ini digital sangat mencekram karena pengguna saat ini adalah generasi Gen Z, 34 persen,” ujar Anas.

Ia mengungkap data bahwa jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 335 juta, jauh melampaui total populasi. Menurutnya, kelebihan jumlah tersebut terjadi karena banyak individu memiliki lebih dari satu akun sehingga menciptakan ruang yang rawan polarisasi. Pemakaian internet yang rata-rata mencapai 8,5 jam per hari memperbesar risiko lahirnya filter bubble dan bias informasi.

Anas menekankan pentingnya mencari pembanding informasi dan tidak pasif menerima satu sumber saja.

“Jangan sampai terus-terusan diinfiltrasi secara doktrin dan dogmatik searah. Jangan mau jadi objek semata,” tegasnya.

Direktur Amir Mahmud Center, Amir Mahmud, juga menyoroti polarisasi yang dapat membesar ketika menyentuh aspek afektif dan berkaitan dengan kepercayaan fundamental masyarakat.

“Polarisasi menjadi perlu diwaspadai ketika sudah mempengaruhi afektif yang berkaitan dengan kepercayaan fundamental yang dipegang kuat oleh masyarakat,” ujarnya.

Amir menjelaskan bahwa ketika hal sederhana dianggap sebagai prinsip fundamental, potensi eskalasi menuju tindakan kekerasan semakin mudah terjadi. Ia juga menilai pemicu polarisasi kerap datang dari elit politik.

“Masyarakat sendiri tidak ingin yang macam-macam, hanya saja para pejabat elit itu yang terkadang memantik perbedaan-perbedaan di masyarakat,” ungkapnya.

Menurut Amir, pencegahan polarisasi membutuhkan dialog terbuka, sikap saling memahami, serta sensitivitas terhadap isu sosial di lingkungan sekitar.

Dekan FH ITB AAS Solo, Isra Bil Ali, mempertegas bahwa polarisasi yang tidak tertangani dapat berujung konflik nyata. Ia merujuk pada polarisasi politik identitas saat Pilpres 2019 dan aksi anarkisme Agustus 2025 sebagai bukti nyata bagaimana perbedaan pendapat dapat berubah menjadi gesekan sosial. Isra meminta masyarakat waspada terhadap isu sensitif dan ajakan provokatif.

“Untuk itu dihimbau kepada para peserta dan seluruh masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh berita hoax maupun ujaran kebencian,” tutupnya. (jn02)

Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *