Hari Kebangkitan Nasional 2025: Manusia Hadapi Tantangan Era Kecerdasan Buatan

0
WhatsApp Image 2025-05-20 at 14.05.57_bab032d3

Hari Kebangkitan Nasional 2025: Manusia Hadapi Tantangan Era Kecerdasan Buatan (JatengNOW/Dok)

JAKARTA, JATENGNOW.COM — Perayaan Hari Kebangkitan Nasional tahun ini mendapat sorotan berbeda seiring berkembangnya kecerdasan buatan (AI) yang kini menyentuh ranah hukum, relasi, hingga kehidupan privat manusia. Guru Besar Hukum dan Etika Teknologi dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), Prof. Dedi Prasetyo, menyebut situasi ini sebagai “penjajahan baru” yang tidak lagi berbentuk senjata, melainkan algoritma.

“Kita menghadapi penjajahan baru yang tak berbentuk senapan, tapi berupa algoritma. Bahaya kecerdasan buatan (AI) bukan pada kecepatannya, tetapi pada kekosongan etik yang menyertainya,” ujar Prof. Dedi kepada wartawan, Selasa (20/5/2025).

Menurutnya, Hari Kebangkitan Nasional 2025 harus menjadi momentum untuk mengembalikan kendali kepada manusia, bukan teknologi.

“Jika dulu kita bangkit melawan kolonialisme, hari ini kita harus bangkit untuk menyelamatkan kemanusiaan dari euforia teknologi yang kehilangan arah. Kita sedang membiarkan mesin mengambil alih akal, hati, bahkan keadilan,” ucap Dedi.

Ia mencontohkan kasus penggunaan AI “Cybercheck” dalam ribuan perkara hukum di Amerika Serikat.

“Tidak ada saksi, tidak ada bukti fisik, hanya algoritma. Ini sangat berbahaya dan tidak boleh terjadi di Indonesia,” tegasnya.

Bahkan, ia menyebut kasus di Arizona, AS, di mana pernyataan dampak korban (victim impact statement) ditulis oleh AI, sebagai krisis etika.

“Ketika AI menulis pernyataan atas nama korban yang telah meninggal, kita harus bertanya — siapa yang sebenarnya berbicara? Apakah kita masih manusia, atau hanya operator bagi program-program prediktif yang dingin dan tak punya nurani?” tanya Dedi.

Sementara itu, Devie Rahmawati, pegiat literasi digital dari Universitas Indonesia, juga menyuarakan keprihatinan atas dominasi AI dalam relasi manusia. Ia menyebutkan hasil studi yang mengungkap bahwa 80% Gen Z bersedia menikah dengan AI sebagai sinyal bahaya atas merosotnya kepercayaan pada hubungan manusia.

“Ketika 80% Gen Z bersedia menikah dengan AI, itu bukan sekadar tren—itu sinyal bahwa kita sedang kehilangan kepercayaan pada relasi manusiawi,” kata Devie.

Ia menyoroti kasus remaja di Florida yang bunuh diri setelah menjalin hubungan emosional dengan chatbot AI.

“AI tidak punya jiwa. Tapi kita justru memperlakukannya seolah-olah ia memiliki empati. Inilah titik krisis kemanusiaan kita,” ucapnya.

Devie juga mengangkat fenomena dari Yunani, di mana seorang istri menceraikan suaminya setelah ChatGPT memprediksi perselingkuhan lewat pola ampas kopi.

“Teknologi sudah menjadi nabi digital. Dan masyarakat mulai mempercayainya lebih dari logika dan dialog,” ujarnya prihatin.

Ia menegaskan bahwa literasi digital harus sejajar dengan pendidikan dasar untuk menghadapi era ini.

“Kebangkitan tidak akan mungkin terjadi tanpa manusia yang paham bagaimana teknologi bekerja, apa bahayanya, dan kapan harus berkata cukup,” kata Devie.

“Indonesia harus belajar dari kasus-kasus di luar negeri. Kita tidak ingin Clearview AI atau perangkat pengawasan massal hadir di kota-kota kita tanpa persetujuan publik,” tambahnya.

Menutup pernyataannya, Prof. Dedi mengingatkan kembali tentang esensi Hari Kebangkitan Nasional.

“Bangkitlah sebagai manusia. Jangan serahkan pengambilan keputusan hidup, hukum, atau relasi kepada mesin. Karena sekali kita percaya bahwa mesin tahu segalanya, maka kita telah kehilangan hakikat dari apa itu manusia,” ujarnya.

“Teknologi boleh berkembang. Tapi etika, cinta, dan kesadaran harus tumbuh lebih cepat. Kebangkitan sejati adalah saat kita mampu menggunakan teknologi tanpa kehilangan jati diri,” tutupnya. (jn02)

Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *