Instruksi Megawati kepada Kepala Daerah PDIP Tuai Polemik, Pakar Hukum: Kepala Daerah Milik Rakyat, Bukan Partai

Pakar Hukum Tata Negara, Al Ghozali Hide Wulakada (JatengNOW/Dok)
SOLO, JATENGNOW.COM – Instruksi Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri, yang melarang kepala daerah dari PDIP menghadiri retret di Magelang menuai berbagai tanggapan. Instruksi tersebut disampaikan melalui surat nomor 7294/In/DPP/II/2025, yang beredar di kalangan internal partai. Instruksi ini diduga berkaitan dengan penahanan Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto, oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pakar Hukum Tata Negara, Al Ghozali Hide Wulakada, menilai instruksi ini menimbulkan perdebatan terkait hubungan antara kepala daerah dan partai politik dalam sistem pemerintahan Indonesia. Ia menegaskan bahwa kepala daerah yang telah terpilih dalam pemilihan langsung sejatinya adalah milik rakyat, bukan partai yang mengusungnya.
“Presiden dan kepala daerah, sejak terpilih oleh rakyat, seharusnya menjalankan tugasnya untuk kepentingan publik, bukan sekadar mengikuti perintah partai,” ujarnya.
Lebih lanjut, Al Ghozali menyoroti dampak dari instruksi ini terhadap sistem demokrasi di Indonesia. Menurutnya, instruksi yang terlalu mengikat dari partai politik dapat mengurangi independensi kepala daerah dan memperkuat oligarki politik.
“Partai yang terlalu dominan dalam menentukan kebijakan pejabat publik justru berisiko menurunkan kualitas demokrasi dan merugikan masyarakat luas,” tambahnya.
Dalam sistem negara kesatuan, kepala daerah tetap berada di bawah pengawasan presiden melalui Kementerian Dalam Negeri. Namun, pengaruh partai politik terhadap kepala daerah sering kali menjadi perdebatan, terutama ketika ada kepentingan politik tertentu yang berpotensi berbenturan dengan kebijakan nasional.
Instruksi Megawati ini juga berpotensi menimbulkan implikasi politik di tingkat daerah. Beberapa pengamat menilai bahwa kepala daerah PDIP yang mengikuti retret bisa menghadapi sanksi internal dari partai, sementara yang tidak hadir bisa dianggap tunduk pada kepentingan politik tertentu. Situasi ini memunculkan pertanyaan terkait sejauh mana peran partai dalam mengontrol pejabat publik yang telah dipilih secara demokratis oleh rakyat.
Hingga saat ini, pihak PDIP belum memberikan pernyataan resmi terkait polemik yang berkembang. Namun, beberapa pihak berharap adanya kejelasan mengenai batasan antara loyalitas kepala daerah terhadap partai dan tanggung jawab mereka sebagai pemimpin yang dipilih oleh rakyat.
Dengan dinamika politik yang terus berkembang, masyarakat kini menunggu apakah pemerintah pusat akan mengambil langkah tertentu untuk memastikan kepala daerah dapat menjalankan tugasnya dengan independensi yang tetap terjaga tanpa tekanan dari kepentingan politik tertentu. (jn02)