Krayahan Bubur Sura, Warisan Budaya Penuh Makna dari Desa Jambu Timur Jepara

Krayahan Bubur Sura, Warisan Budaya Penuh Makna dari Desa Jambu Timur Jepara (JatengNOW/Dok)
JEPARA, JATENGNOW.COM – Suasana kebersamaan dan nuansa sakral menyelimuti pelataran Masjid Darussaadah, RW 05 Desa Jambu Timur, Kecamatan Mlonggo, Kabupaten Jepara, Minggu (20/7/2025). Ratusan warga tumpah ruah mengikuti tradisi Krayahan Bubur Sura yang digelar dalam rangka memperingati bulan Muharam atau dikenal sebagai bulan Sura dalam penanggalan Jawa.
Dengan penuh khidmat, warga mengikuti rangkaian acara bertajuk Piweling Asyura, yang memadukan unsur budaya dan religiusitas. Bubur Sura disiapkan dalam takir daun pisang—berisi bubur putih, irisan telur dadar, suwiran ayam, dan taburan kacang—kemudian diarak dari Masjid Darussaadah menuju panggung kehormatan. Setelah doa bersama, tradisi krayahan atau berebut bubur pun dimulai, sebagai simbol mencari berkah dan keselamatan.
Tradisi ini, menurut Muhammad Roisul Hakim (35), panitia sekaligus inisiator acara, merupakan bentuk akulturasi antara ajaran Islam dan kearifan lokal yang diwariskan secara turun-temurun. “Piweling Asyura ini adalah pengingat akan pentingnya menjaga warisan budaya dan nilai-nilai keagamaan yang telah hidup sejak dulu. Bulan Sura bukan hanya milik satu golongan, tapi dirayakan juga oleh para penganut kejawen dan lintas keyakinan,” jelas Roisul.
Lebih dari sekadar seremoni budaya, kegiatan ini juga menjadi ajang gotong royong. Bubur disiapkan bersama oleh warga, dan dana dari kegiatan ini digunakan untuk mendukung pembangunan masjid di desa. Roisul menambahkan bahwa selamatan atau kenduri di bulan Sura yang dilakukan hampir di setiap rumah juga menjadi cerminan nilai-nilai spiritual yang tumbuh kuat di tengah masyarakat.
“Dalam krayahan ini, kita diajak untuk bergembira, menjaga kesehatan, beramal, dan memperkuat kebersamaan. Harapannya, Piweling Asyura bisa menjadi ikon kebudayaan yang mempererat solidaritas warga Desa Jambu Timur,” imbuhnya.
Tradisi Bubur Sura merujuk pada kisah Nabi Nuh AS yang selamat dari banjir besar, lalu membuat makanan dari sisa-sisa bahan makanan di kapal sebagai wujud syukur. Kisah itu hidup dalam ingatan masyarakat dan dimaknai ulang dalam bentuk tradisi lokal yang sarat nilai spiritual dan sosial.
Piweling Asyura membuktikan bahwa budaya tidak hanya hidup dalam tarian atau pertunjukan, tetapi juga dalam semangat kebersamaan dan penghormatan terhadap nilai-nilai luhur yang telah diwariskan dari generasi ke generasi. (jn02)