Mengapa Surakarta Disebut Solo? Inilah Sejarah dan Penjelasannya
Surakarta, atau dikenal juga dengan sebutan Solo atau Sala, merupakan kota besar yang terletak di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.

Mengapa Surakarta Disebut Solo? Inilah Sejarah dan Penjelasannya. (jatengNOW/KlikSoloNews-Basnando)
SOLO, JATENGNOW.COM – Mengapa Surakarta Disebut Solo? Inilah Sejarahnya. Surakarta, atau dikenal juga dengan sebutan Solo atau Sala, merupakan kota besar yang terletak di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.
Menurut peringkat, Surakarta adalah kota kesepuluh terbesar di Indonesia setelah Yogyakarta. Di sisi timurnya, kota ini dikelilingi oleh sungai yang terkenal dalam lagu keroncong Bengawan Solo.
Dilansir KlikSoloNews, jejaring JatengNOW, sejarah eksistensi kota ini dimulai pada saat Kesultanan Mataram memindahkan kedudukan raja dari Kartasura ke Desa Sala, yang berada di tepi Bengawan Solo. Karena perpecahan wilayah kerajaan, Solo memiliki dua keraton yang mengakibatkan kota ini pernah memiliki dua administrasi.
Namun, situasi ini berakhir setelah berdirinya Republik Indonesia dan kekuasaan politik kedua kerajaan dihapuskan.
Selanjutnya, Solo menjadi tempat kedudukan residen yang membawahi Karesidenan Surakarta hingga tahun 1950-an. Setelah dihapuskannya karesidenan, Surakarta menjadi kota dengan kedudukan setara kabupaten.
Namun, setelah berlakunya UU Pemerintahan Daerah yang memberikan hak otonomi bagi pemerintahan daerah, Surakarta berubah menjadi kota dengan status yang sama.
Surakarta dilambangkan dengan semboyan “Berseri”, yang merupakan akronim dari kata “Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah”, sebagai ungkapan dari upaya pemeliharaan keindahan kota. Untuk kepentingan pariwisata, Solo mengambil slogan “The Spirit of Java” yang diharapkan dapat membangun citra kota Solo sebagai pusat kebudayaan Jawa.
Surakarta berdiri di wilayah desa bernama Desa Sala, yang berada di tepi Bengawan Solo. Sarjana Belanda yang meneliti Naskah Bujangga Manik, J. Noorduyn, menduga bahwa Desa Sala ini berada di dekat (kalau bukan memang di sana) salah satu tempat penyeberangan (”penambangan”) di Bengawan Solo yang disebut-sebut dalam pelat tembaga “Piagam Trowulan I” (1358, dalam bahasa Inggris disebut “Ferry Charter”) sebagai “Wulayu”.
Naskah Perjalanan Bujangga Manik yang berasal dari sekitar akhir abad ke-15 menyebutkan bahwa sang tokoh menyeberangi “Ci Wuluyu”.
Pada abad ke-17 di tempat ini juga dilaporkan terdapat penyeberangan di daerah “Semanggi” (sekarang masih menjadi nama kampung/kelurahan di Kecamatan Pasar Kliwon).
Solo atau Surakarta adalah sebuah kota yang indah dan tertata dengan baik. Kota ini dikenal sebagai kota besar kedua terbaik dalam hal penataan ruang. Ada banyak keunggulan yang dimiliki oleh kota Solo yang tidak dimiliki oleh kota lain, salah satunya adalah keberhasilan dalam memindahkan pedagang kaki lima dari kawasan hijau dan penghuni bantaran sungai dengan cara relokasi.
Program Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) 2011 dengan tajuk “Langit Biru” menampilkan kota Solo sebagai potret kota yang indah dan menjadi ikon terbaiknya. Kota Solo dikenal memiliki kualitas udara yang terbersih di Indonesia.
Adapun yang dinilai “Langit Biru” adalah manajemen lalu lintas kota, kualitas bahan bakar, hasil uji emisi kendaraan bermotor yang beredar di kota bersangkutan, dan kualitas udara di jalan raya. Selain itu, penataan kota juga menjadi parameter yang digunakan sebagai dasar penilaian.
Solo menjadi pemenang pertama untuk kategori kota besar, disusul oleh Batam. Kota Solo dengan tagline The Spirit of Java adalah kota penuh prestasi dan menjadi tempat favorit untuk ditinggali.
Selain itu, Solo juga dikenal sebagai kota paling ramah terhadap anak-anak, kota impian, kota cyber, kota budaya, kota trem, kota sepeda, dll. Kota ini juga meraih predikat sebagai kota terbaik menurut versi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (KS02)