NU dan FKUB Solo Imbau Masyarakat Tak Gaduh soal Polemik Ayam Goreng Widuran

Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) sekaligus Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Solo, Mashuri (JatengNOW/Dok)
SOLO, JATENGNOW.COM – Di tengah polemik dugaan penggunaan bahan nonhalal oleh Warung Makan Ayam Goreng Widuran, Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) sekaligus Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Solo, Mashuri, mengimbau masyarakat untuk tidak menyikapi situasi ini dengan kegaduhan berlebih.
Mashuri menilai, penanganan dugaan penggunaan bahan nonhalal sebaiknya dilakukan secara bijak dan kekeluargaan. Ia menjelaskan bahwa proses sertifikasi halal pada sebuah produk makanan cukup kompleks, karena harus memastikan kehalalan dari hulu hingga hilir—termasuk asal bahan, proses pengolahan, hingga penyajian yang sesuai syariat Islam.
“Sehingga, kita sebagai masyarakat tidak perlu gaduh dalam menyikapinya. Ada proses yang harus dilalui yang itu melibatkan banyak pihak untuk mencapai kejelasan produk tersebut halal atau haram,” kata Mashuri, Selasa (27/5/2025).
Ia juga mengingatkan bahwa masyarakat Solo merupakan komunitas yang heterogen, sehingga respons terhadap isu semacam ini sebaiknya disikapi dengan tenang sambil menunggu hasil kajian yang valid.
“Karena kan ada beberapa kelompok masyarakat di Solo yang tidak mempermasalahkan hal tersebut. Sehingga kita jangan dahulu reaksioner. Tunggu kejelasannya,” ujarnya.
Mashuri menyebut polemik ini seharusnya bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak, baik pelaku usaha, konsumen, maupun pemangku kebijakan. Menurutnya, kejelasan status halal atau haram suatu produk sangat penting, apalagi mengingat mayoritas konsumen di Indonesia adalah muslim.
“Saya tidak sepakat jika pelaku usaha hanya mengedepankan bisnis semata. Karena di Indonesia ini pangsa pasarnya muslim, maka perlu mempertimbangkan kejelasan halal atau haram,” katanya.
Untuk itu, PCNU Solo akan mendorong lembaga terkait seperti Kantor Kemenag Solo, BPJPH, dan MUI untuk melakukan inspeksi ke rumah makan yang belum jelas status halal produknya. Tujuannya agar tidak terjadi kesimpangsiuran di tengah masyarakat.
“Sehingga nanti diharapkan bisa menjadi lebih jelas dengan memberi label. Termasuk yang nonhalal atau haram pun tetap perlu diberi label agar menghindari polemik yang sama seperti ini,” tambahnya.
Terkait dengan status hukum syariat, Mashuri menjelaskan bahwa konsumen yang tidak mengetahui bahwa makanan yang dikonsumsinya mengandung bahan nonhalal tidak dikenai dosa.
“Dalam status hukum Islam, jika kita tidak tahu maka tidak ada implikasinya, alias terbebas. Namun berbeda jika kita tahu tapi tetap diterjang, maka akan terkena implikasi hukum tersebut,” jelasnya.
Mashuri juga menyoroti pentingnya prosedur kehalalan yang ketat dalam proses penyembelihan dan penyajian. Ia mencontohkan, bahkan hal kecil seperti kepala ayam goreng yang ditusuk bisa menimbulkan masalah jika tidak sesuai dengan aturan syariat.
Saat ditanya soal laporan dari seseorang yang mengaku sebagai warga NU kepada pihak kepolisian terkait kasus ini, Mashuri mengaku tidak mengenalnya. Namun ia menegaskan bahwa hal tersebut sah-sah saja, dan kembali mengajak masyarakat untuk menyikapi persoalan ini secara tenang dan proporsional.
“Sah saja jika ada yang mengaku warga NU kemudian melaporkan hal tersebut. Tapi kalau kami mengimbau atau mengajak masyarakat untuk tidak perlu gaduh-gaduh. Bisa dibicarakan secara kekeluargaan,” pungkasnya. (jn02)