Tradisi Dandangan di Kudus: Menyambut Ramadan dengan Tabuh Beduk dan Kemeriahan Budaya
KUDUS, JATENGNOW.COM – Sembilan orang berpakaian putih dengan sarung dan udeng-udeng berjalan khusyuk menuju atas Menara Kudus, Jawa Tengah, Senin (11/3/2024). Mereka hendak menabuh beduk dan kentongan berukuran besar dalam prosesi Dandangan, tradisi peninggalan Sunan Kudus atau Ja’far Ash-Shodiq.
Tradisi Dandangan bukan sekadar tradisi penyambutan akan datangnya Ramadan. Ratusan tahun silam, Dandangan merupakan tradisi penetapan awal pertama puasa, yang kemudian disebut isbat Ramadan.
Setelah dilakukan isbat, maka keputusan 1 Ramadan ditandai dengan tabuh beduk dengan irama cepat, rancak, atau memunculkan suara “dang, dang, dang, dang”, sehingga kemudian dikenal dengan tradisi Dandangan.
Tiap tahun, Dandangan tak pernah putus dilaksanakan oleh masyarakat Kudus. Dimulai dengan berziarah ke makam Sunan Kudus, prosesi menabuh beduk, kemudian makan bersama.
Dandangan juga menjadi komoditi ekonomi. Para pedagang kuliner, fesyen, dan lainnya bermunculan, seiring antusiasme masyarakat yang hadir pada acara tabuh beduk tersebut.
Tradisi Dandangan saat ini lebih inovatif dengan berbagai rangkaian kegiatan. Misalnya, dialog kebudayaan, kirab, stand UMKM, dan sebagainya.
Litbang Yayasan Masjid Menara dan Malam Sunan Kudus, Abdul Jalil, mengatakan, tradisi Dandangan sudah berlangsung sekitar 500 tahun dan telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
“Saat ini tradisi Dandangan sudah berlangsung sekitar 500 tahun. Jadi, bukan sekadar menyambut datangnya Ramadan, tapi penetapan awal Ramadan,” ujarnya.
Dikatakan, Dandangan sudah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB), sehingga saat ini menjadi peristiwa budaya yang berimplikasi ekonomi.
“Banyak orang yang berdagang, karena antusias masyarakat yang ingin tahu awal Ramadan melalui tradisi Dandangan ini,” papar Jalil.
Hingga saat ini, pihaknya terus melakukan kajian terhadap sejarah Dandangan. Diakui, Dandangan identik dengan tabuh beduk.
“Sehingga kebenarannya bersumber dari histori, bukan mitologi,” tandas Jalil. (jn02)